Sejarah Agama menunjukkan bahwa kebehagiaan
yang ingin dicapai dengan menjalankan syariah agama itu hanya dapat terlaksana
dengan adanya akhlak yang baik. Kepercayaan yang hanya berbentuk pengetahuan
tentang keesaan Tuhan, ibadah yang dilakukan hanya sebagai formalitas belaka,
muamalah yang hanya merupakan peraturan yang tertuang dalam kitab saja, semua
itu bukanlah merupakan jaminan untuk tercapainya kebahagiaan tersebut.
Timbulnya kesadaran akhlak dan pendirian
manusia terhadap-Nya adalah pangkalan yang menetukan corak hidup manusia.
Akhlak, atau moral, atau susila adalah pola tindakan yang didasarkan atas nilai
mutlak kebaikan. Hidup susila dan tiap-tiap perbuatan susila adalah jawaban
yang tepat terhadap kesadaran akhlak, sebaliknya hidup yang tidak bersusila dan
tiap-tiap pelanggaran kesusilaan adalah menentang kesadaran itu.
Kesadaran akhlak adalah kesadaran manusia
tentang dirinya sendiri, dimana manusia melihat atau merasakan diri sendiri
sebagai berhadapan dengan baik dan buruk. Disitulah membedakan halal dan haram,
hak dan bathil, boleh dan tidak boleh dilakukan, meskipun dia bisa melakukan.
Itulah hal yang khusus manusiawi. Dalam dunia hewan tidak ada hal yang baik dan
buruk atau patut tidak patut, karena hanya manusialah yang mengerti dirinya
sendiri, hanya manusialah yang sebagai subjek menginsafi bahwa dia berhadapan
pada perbuatannya itu, sebelum, selama dan sesudah pekerjaan itu dilakukan.
Sehingga sebagai subjek yang mengalami perbuatannya dia bisa dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatannya itu.
Pembahasan
Dalam berbagai literature tentang ilmu
akhlak islami, dijumpai uraian tentang akhlak yang secara garis besar dapat
dibagi dua bagia, yaitu; akhlak yang baik (akhlak al-karimah), dan akhlak yang
buruk (akhlak madzmumah). Berbuat adil, jujur, sabar, pemaaf, dermawan dan
amanah misalnya termasuk dalam akhlak yang baik. Sedangkan berbuat yang dhalim,
berdusta, pemarah, pendendam, kikir dan curang termasuk dalam akhlak yang
buruk.
Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut
berinduk pada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja'ah
(perwira/ksatria) dan iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat).
Hukum-hukum akhlak ialah hokum-hukum yang
bersangkut paut dengan perbaikan jiwa (moral); menerangkan sifat-sifat yang
terpuji atau keutamaan-keutamaan yang harus dijadikan perhiasan atau perisai
diri seseorang seperti jujur, adil, terpercaya, dan sifat-sifat yang tercela
yang harus dijauhi oleh seseorang seperti bohong, dzalim, khianat. Sifat-sifat
tersebut diterangkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dan secara Khusus dipelajari
dalam Ilmu Akhlak (etika) dan Ilmu Tasawuf.
a. Akhlak
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan
untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistic (kebahasaan), dan
pendekatan terminologik (peristilahan).
Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari
bahasa arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitive) dari kata al-akhlaqa,
yukhliqu, ikhlaqan, sesuai timbangan (wazan) tsulasi majid af'ala, yuf'ilu
if'alan yang berarti al-sajiyah (perangai), at-thobi'ah (kelakuan, tabiat,
watak dasar), al-adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru'ah (peradaban yang baik)
dan al-din (agama).
Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagai
mana tersebut diatas tampaknya kurang pas, sebab isim masdar dari kata akhlaqa
bukan akhlak, tetapi ikhlak. Berkenaan dengan ini, maka timbul pendapat yang
mengatakan bahwa secara linguistic, akhlak merupakan isim jamid atau isim ghair
mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut
memang sudah demikian adanya.
Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari
segi istilah, kita dapat merujuk kepada berbagai pendapat para pakar di bidang
ini. Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M) yang selanjutnya dikenal sebagai pakar
bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya secara singkat mengatakan bahwa
akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan
perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Sementara itu, Imam Al-Ghazali (1015-1111
M) yang selanjutnya dikenal sebagai hujjatul Islam (pembela Islam), karena
kepiawaiannya dalam membela Islam dari berbagai paham yang dianggap
menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibn Miskawaih, mengatakan akhlak
adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan
dengan gambling dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Definisi-definisi akhlak tersebut secara
subtansial tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima cirri
yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu; pertama, perbuatan akhlak adalah
perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi
kepribadiaannya. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan
mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan sesuatu
perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur
atau gila. Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari
dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.
Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan
dan keputusan yang bersangkutan. Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah
perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena
bersandiwara. Kelima, sejalan dengan cirri yang keempat perbuatan akhlak
(khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas
semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin
mendapatkan suatu pujian.
b. Etika
Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata),
etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau
adat. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan
tentang azaz-azaz akhlak (moral). Dari pengertian kebahsaan ini terlihat bahwa
etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.
Adapun arti etika dari segi istilah, telah
dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut
pandangnya. Menurut ahmad amin mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan
arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia,
menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan
menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
Berikutnya, dalam encyclopedia Britanica,
etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sitematik mengenai
sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan
sebagainya.
Dari definisi etika tersebut diatas, dapat
segera diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut.
Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas
perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua dilihat dari segi sumbernya, etika
bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika
tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat
berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan sebagainya. Selain itu, etika juga
memanfaatkan berbagai ilmu yang memebahas perilaku manusia seperti ilmu
antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya.
Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu
dan penetap terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu
apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan
sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap
sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu kepada
pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat, dilihat dari segi sifatnya,
etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Dengan ciri-cirinya yang demikian itu,
maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya
menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatan baik atau buruk.
Berbagai pemikiran yang dikemukakan para filosof barat mengenai perbuatan baik
atau buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari
hasil berfikir. Dengan demikian etika sifatnya humanistis dan antroposentris
yakni bersifat pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata
lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasulkan oleh akal
manusia.
c. Moral
Adapun arti moral dari segi bahasa berasal
dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adapt
kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatan bahwa moral adalah
pennetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.
Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah
suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai,
kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar,
salah, baik atau buruk.
Berdasarkan kutipan tersebut diatas, dapat
dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan
terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau
salah.
Jika pengertian etika dan moral tersebut
dihubungkan satu dengan lainnya, kita dapat mengetakan bahwa antara etika dan
moral memiki objek yang sama, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan
manusia selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau buruk.
Namun demikian dalam beberapa hal antara
etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika,
untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur
akal pikiran atau rasio, sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah
norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat. Dengan
demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam
konsep-konsep, sedangkan etika berada dalam dataran realitas dan muncul dalam
tingkah laku yang berkembang di masyarakat.
Dengan demikian tolak ukur yang digunakan
dalam moral untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan
dan lainnya yang berlaku di masyarakat.
Etika dan moral sama artinya tetapi dalam
pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk
perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian system
nilai yang ada.
Kesadaran moral erta pula hubungannya
dengan hati nurani yang dalam bahasa asing disebut conscience, conscientia,
gewissen, geweten, dan bahasa arab disebut dengan qalb, fu'ad. Dalam kesadaran
moral mencakup tiga hal. Pertama, perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan
tindakan yang bermoral. Kedua, kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan
objektif, yaitu suatu perbuatan yang secara umumk dapat diterima oleh
masyarakat, sebagai hal yang objektif dan dapat diberlakukan secara universal,
artinya dapat disetujui berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang
yang berada dalam situasi yang sejenis. Ketiga, kesadaran moral dapat pula
muncul dalam bentuk kebebasan.
Berdasarkan pada uraian diatas, dapat
sampai pada suatu kesimpulan, bahwa moral lebih mengacu kepada suatu nilai atau
system hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh masyarakat. Nilai atau
sitem hidup tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai yang akan memberikan
harapan munculnya kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai tersebut ada yang
berkaitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jika
nilai-nilai tersebut telah mendarah daging dalam diri seseorang, maka akan
membentuk kesadaran moralnya sendiri. Orang yang demikian akan dengan mudah
dapat melakukan suatu perbuatan tanpa harus ada dorongan atau paksaan dari
luar.
d. Karakteristik dalam ajaran Islam
Secara sederhana akhlak Islami dapat
diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran Islam atau akhlak yang
bersifat Islami. Kata Islam yang berada di belakang kata akhlak dalam hal
menempati posisi sebagai sifat.
Dengan demikian akhlak Islami adalah
perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah-daging dan
sebenarnya yang didasarkan pada ajaran Islam. Dilihat dari segi sifatnya yang
universal, maka akhlak Islami juga bersifat universal. Namun dalam rangka
menjabarkan akhlak islami yang universal ini diperlukan bantuan pemikiran akal
manusia dan kesempatan social yang terkandung dalam ajaran etika dan moral.
Dengan kata lain akhlak Islami adalah
akhlak yang disamping mengakui adanya nilai-nilai universal sebagai dasar
bentuk akhlak, juga mengakui nilai-nilai bersifat local dan temporal sebagai
penjabaran atas nilai-nilai yang universal itu. Namun demikian, perlu
dipertegas disini, bahwa akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan
etika atau moral, walaupun etika dan moral itu diperlukan dalam rangka
menjabarkan akhlak yang berdasarkan agama (akhlak Islami). Hal yang demikian
disebabkan karena etika terbatas pada sopan santun antara sesame manusia saja,
serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Jadi ketika etika digunakan
untuk menjabarkan akhlak Islami, itu tidak berarti akhlak Islami dapat
dijabarkan sepenuhnya oleh etika atau moral.
Ruang lingkup akhlak Islami adalah sama
dengan ruang lingkup ajaran Islam itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan
pola hubungan. Akhlak diniah (agama/Islam) mencakup berbagai aspek, dimulai
dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesame makhluk (manusia, binatang,
tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda yang tak bernyawa).
Penutup
Akhirnya dilihat dari fungsi dan
peranannya, dapat dikatakan bahwa etika, moral, susila dan akhlak sama, yaitu
menentukan hokum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk
ditentukan baik-buruknya. Kesemua istilah tersebut sama-sama menghendaki
terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai, dan tentram
sehingga sejahtera batiniah dan lahiriyah.
Perbedaaan antara etika, moral, dan susila
dengan akhlak adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk
menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan
pendapat akal pikiran, dan pada moral dan susila berdasarkan kebiasaan yang
berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk
menentukan baik buruk itu adalah al-qur'an dan al-hadis.
Perbedaan lain antara etika, moral dan
susila terlihat pula pada sifat dan kawasan pembahasannya. Jika etika lebih
banyak bersifat teoritis, maka pada moral dan susila lebih banyak bersifat
praktis. Etika memandang tingkah laku manusia secara umum, sedangkan moral dan
susila bersifat local dan individual. Etika menjelaskan ukuran baik-buruk,
sedangkan moral dan susila menyatakan ukuran tersebut dalam bentuk perbuatan.
Namun demikian etika, moral, susila dan
akhlak tetap saling berhubungan dan membutuhkan. Uraian tersebut di atas
menunjukkan dengan jelas bahawa etika, moral dan susila berasala dari produk
rasio dan budaya masyarakat yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat
dan baik bagi kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu,
yakni ketentuan yang berdasarkan petunjuk Al-Qur'an dan Hadis. Dengan kata lain
jika etika, moral dan susila berasal dari manusia sedangkan akhlak berasal dari
Tuhan.
No comments:
Post a Comment